-->

Pengertian Inflasi, Indikator dan Dampaknya Bagi Perekonomian Negara

Pengertian inflasi (inflation) secara sederhana dapat diartikan sebagai angka (dalam satuan persen) yang menunjukkan kenaikan harga secara umum yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Sedangkan kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral bertugas menjaga angka tersebut dan menghindari deflasi agar ekonomi negara dapat berjalan lancar.

Indikator Inflasi

Indeks Harga Konsumen (IHK) sering digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat inflasi. Perubahan IHK akan menunjukkan pergerakan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaksanakan Survei Biaya Hidup (SBH) sebagai dasar penentuan barang dan jasa dalam IHK. Perkembangan harga barang dan jasa dimonitor secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern.

Berdasarkan international best practice, ada 4 indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi.

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).

Maksud dari Harga Perdagangan Besar adalah harga transaksi dari suatu komoditas yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.

2. Indeks Harga Produsen (IHP)

Indeks Harga Produsen (IHP) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk barang yang mereka hasilkan.

3. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB)

Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

4. Indeks Harga Aset

Indeks Harga Aset digunakan untuk mengukur pergerakan harga aset antara lain properti dan saham yang dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap harga secara keseluruhan.

Pengelompokan Inflasi Berdasarkan COICOP

Berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose (COICOP), inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran, yaitu :
  • Kelompok Bahan Makanan
  • Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
  • Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar
  • Kelompok Sandang
  • Kelompok Kesehatan
  • Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
  • Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Disagregasi Inflasi

Saat ini BPS juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang disebut disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. Disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti

Inflasi Inti merupakan komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
  • Interaksi permintaan-penawaran
  • Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
  • Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti

Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
  • Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
  • Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi biaya/supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

1. Dorongan Biaya (cost push inflation)

Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Juga disebabkan karena industri-industri (pabrik-pabrik) harus menaikkan harga jual sebuah produk untuk menutup biaya produksi. Dorongan biaya ini mengakibatkan adanya pola siklus upah dan harga yang lebih tinggi atau spiral harga upah (wage price spiral).

2. Peningkatan Permintaan (demand pull inflation)

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation disebabkan karena tingginya/meningkatnya permintaan barang dan jasa, sedangkan ketersediaan (supply) jumlahnya relatif tetap. Permintaan diyakini oleh beberapa ahli ekonomi (ekonom) dapat dikendalikan melalui kebijakan Bank Sentral dan Departemen Keuangan.

Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.

3. Ekspektasi inflasi

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking.

Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP).

Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Pentingnya Kestabilan Harga

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
  • Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
  • Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
  • Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Click to comment